KEPERCAYAAN
EKONOMI DALAM
SEKATENAN
DI YOGYAKARTA DAN SURAKARTA
BAB
I
PENDAHULUAN
Islam
sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki pemeluk dari berbagai suku bangsa
yang hidup di berbagai pulau. Sebelum agama islam masuk ke Indonesia, berbagai
suku telah memiliki kebudayaan dan adat
istiadat masing-masing dimana budaya tersebut sudah lebih dulu mengakar di
lingkungan masyarakat. Di tanah jawa khususnya budaya animisme dan dinamisme sudah
menjadi kepercayaan yang lebih dulu membudaya dibandingkan agama islam itu
sendiri. Oleh karena itu agama islam tidak akan mudah menyebar ditanah jawa
apabila budaya dan adat istiadat yang lebih dulu ada dihilangkan begitu saja.
Karena
faktor itulah para penyebar islam masa lalu di tanah jawa menggunakan
pendekatan kebudayaan untuk menyebarkan agama islam di tanah jawa. Melalui
ritual kebudayaan serta kesenian, para penyebar islam mengumpulkan massa untuk
menyebarkan agama islam. Para Wali sebagai penyebar islam juga tidak
menghilangkan upacara ritual kebudayaan seperti selamatan dan sebagainya. Salah
satu upacara ritual yang masih ada hingga sekarang adalah upacara sekaten yang
merupakan perwujudan dari selamatan tahunan yang diadakan oleh raja-raja hindu
budha masa lalu.
Saat
ini perayaan Sekaten dijadikan suatu upacara tradisional keagamaan Islam dan
dianggap sebagai tradisi untuk memperingati sosialisasi masuknya Islam ke
Indonesia. Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius,
dan historis (Soelarto, 1996: 24). Sebagai suatu peristiwa keagamaan dan kebudayaan,
Sekaten (Garebeg) merupakan upacara
Kerajaan yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW (Soelarto, 1996 : 41).
Setiap
tahun selalu diselenggarakan upacara sekaten di keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat (Garebeg Maulud) atau Kasunanan Surakarta. Perayaan sekaten
bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dalam rangka memenuhi
kebutuhan religius masyarakat (Soelarto, 1996 : 24). Di samping digunakan sebagai
peristiwa sosial dan ekonomi, upacara tradisional sekaten juga digunakan sebagai
alat komunikasi antar sesama manusia dan dengan dunia yang ghaib. Pemahaman
sebagai alat komunikasi antara dunia nyata dengan dunia ghaib akan lebih terlihat
nyata melalui pemahaman simbol-simbol dan sesaji serta benda-benda ubarampe
yang sering digunakan dalam upacara. Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai
sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disampaikan kepada seluruh warga masyarakat.
Sehingga upacara Tradisi Sekaten itu merupakan sarana sosialisasi kebudayaan
dan spiritual, terutama kepada generasi muda masyarakat yang masih harus
mempersiapkan diri untuk menyesuaikan dalam kehidupan masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
DAN ANALISIS
1.
Pengertian
dan Sejarah Sekaten
Sekaten berasal
dari bahasa Arab, yaitu syahadatain
yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh
seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain
juga berasal dari kata Sahutain (menghentikan
atau menghindari perkara dua, yakni sifat pelacuran dan penyelewengan ), Sakhatain (menghilangkan
perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber
kerusakan), Sakhotain (menanamkan
perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu
menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang,
orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang
hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas
kebaikan dan kejahatan)
(K.R.T. Haji
Handipaningrat : 3).
Kerajaan
Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya Ngalam I) diadakan
perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu,
yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang
tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara
tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak
menyebabkan kematian warga masyarakat.
Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka
Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang
dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam
dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak
lama kemudian, wabah penyakit tersebut
menghilang dan rakyat hidup tenteram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten
diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara
Tahunan yang selalu diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun.
Nama
Sekaten itu sendiri diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu
orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh
karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal.
Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga
menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten
menjadi hasil dari interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk
kebudayaan. Proses interaksi tersebut dapat membantu mempercepat penyebaran agama islam di Pulau Jawa. Di
Yogyakarta sendiri sekaten yang menjadi salah satu bentuk adat Keraton
Kasultanan Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan
Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah Sekaten
di Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri (Soelarto, 1996 : 17).
Garebeg
Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang
melibatkan seluruh pegawai Keraton, seluruh aparat Kerajaan, dan seluruh
lapisan masyarakat. Sekaten yang bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari
kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal itu juga menjabarkan gelar Sultan yang
bersifat kemusliman. Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara
tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur,
tetap dilestarikan oleh para pengganti
Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto, 1996 : 19). Terbentuknya tradisi
Sekaten merupakan perwujudan dari masuknya dan tersosialisasinya Islam ke
Indonesia secara damai, karena Islam itu sendiri tidak mengenal kekerasan.
Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di pulau Jawa. Dalam perkembangannya tradisi Sekaten tidak
lagi menjadi milik keraton atau kasunanan, tetapi masyarakat juga merasa ikut.
Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi DIY, baik masyarakat perkotaan
maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara
religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah,
juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman
keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24). Dalam hal ini
masyarakat Yogyakarta yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap
upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi
leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga
yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan
akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat.
Tradisi
Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis.
Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran
agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan
sebagai yang tercantum dalam rangkaian gelarnya. Makna historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris yang
sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram Islam. Makna Kultural, berkaitan dengan Sultan sebagai
pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh
kepercayaan lama (Soelarto, 1996 :
24). Keterangan diatas merupakan sejarah
dari perayaan Sekaten yang secara terus-menerus menunjukkan toleransi dalam
sikap religius dan sikap kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang
tidak terpisahkan dari ratusan suku bangsa se-nusantara yang membentuk kepribadian bangsa Indonesia
pada masa kini (Soelarto, 1996 : 24).
2.
Prosesi
Sekaten
Serangkaian upacara Sekatenan di yogyakarta terdiri
dari :
a.
Perayaan Upacara Sekaten pertama kali
diawali dengan diadakannya Slametan atau Wilujengan yang bertujuan untuk
mencari ketentraman dan ketenangan. Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam
Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari
sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada
perayaan Sekaten ini masyarakat banyak yang berkunjung dan bertujuan
untuk mencari hiburan atau membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam
itu.
b.
Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten,
gamelan dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk
kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso
oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang bertugas dalam
bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco
Gladhag yang membawa gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara
dan Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta. Selama satu minggu gamelan dibunyikan
terus kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat adzan dikumandangkan dan pada
hari jum’at. Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan
Kridhomardowo. Gamelan dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam karena
dengan membunyikan gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya, maka
masyarakat akan datang.
c.
Rangkaian upacara Sekaten yang
selanjutnya ialah Upacara Numplak Wajik yang berlokasi di Magangan Kidul. Upacara
Numplak Wajik sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak
Wajik diawali dengan iringan Gejog
Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem
Konco Gladhag. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon tersebut dapat
berjalan lancar. Sebelum upacara ini dimulai biasanya diberikan sesaji oleh
Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami
hambatan.
d.
Acara selanjutnya dilaksanakan Miyos
Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar
Keraton, para Bupati, Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogyakarta. Pada
upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan pembesar Keraton dibacakan
Siratun Nabi (riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW). Sebelum Miyos Dalem dilaksanakan, Sri Sultan menyebar
udhik-udhik yang telah disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan pintu
Pagongan Selatan dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana selama 7 hari
berturut-turut kedua Gamelan sekaten dibunyikan yaitu Gamelan Kanjeng Kiai
Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dihadapan masyarakat yang hadir.
Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaan Kondur Gongso atau gamelan
dibawa masuk lagi ke Keraton.
e.
Sebagai rangkaian upacara terakhir dari Tradisi Sekatenan yaitu puncak acara Garebeg Maulud, yang ditandai dengan
dikeluarkannya Hajad Dalem Pareden (gunungan) tepat tanggal 12 bulan. Dalam
Garebeg Maulud ini Sri Sultan mengeluarkan Hajad Dalem berupa 6 buah gunungan,
diantaranya adalah 2 buah gunungan
lanang (1 buah gunungan untuk berkat ke Pakualaman), 1 buah gunungan wadon, 1
buah gunungan dharat, 1 buah gunungan gepak, dan 1 buah gunungan pawuhan.
Gunungan itu nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat. Ketika gunungan
diperebutkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan
bagian dari gunungan itu, seperti hiasan
telur ataupun hiasan kue-kue. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian
dari gunungan itu, mereka akan mendapatkan berkah. Biasanya setelah mereka
mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka meletakkan bagian dari gunungan
itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah yang mereka miliki dapat tumbuh subur
dan panen dapat berhasil. Selain bagian dari gunungan, yang menjadi sasaran
dari masyarakat ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega.
Masyarakat percaya bahwa dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga Keraton,
mereka akan mendapatkan berkah dari benda yang dimilikinya.
3.
Makna
Benda-benda sebagai perlengkapan sekaten
Dalam upacara Sekaten terdapat gunungan
yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis
makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan
harapan yang baik bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Adapun nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung,
sirih, dan lain sebagainya yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten tersebut
sebagai berikut:
a.
Gunungan kakung, Gunungan selain
bermakna kesuburan juga mempunyai arti sifat baik, sedangkan gunungan putri
melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan
sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja
untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang
besar untuk kejayaan keraton. Dari hal tersebut raja mengeluarkan sepasang
gunungan pada waktu perayaan sekaten. Gunungan kakung juga menggambarkan
tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi,
langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai
jenis dan sifat-sifatnya..
b.
Bendera merah putih, ditempatkan
pada ujung gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara
atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna
putih berarti suci. Warna merah putih menunjukkan istilah pada kerajaan
Majapahit yaitu istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus
mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian.
c.
Cakra, merupakan puncak dari pangkal
berdirinya gunungan yang mempunyai makna senjata atau pusaka milik dari Prabu
Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keadilan. Selain itu
cakra merupakan simbol dari hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam
kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan
manusia itu selalu berputar, manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam
keadaan senang maupun susah.
d.
Wapen, merupakan simbol yang
digunakan sebagai lambang. Adapun wapen dalam gunungan bermakna petunjuk bagi
keselamatan dan kekuasaan dari Raja yang bertahta.
e.
Kampuh, merupakan kain berwarna
merah putih yang menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna
kesusilaan. kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian,
pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti
dihormatinya seseorang karena pakaiannya.
f.
Entho-entho, merupakan makanan
berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan
hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam
menghadapi masalah kehidupan dunia.
g.
Telur asin, melambangkan amal. Adapun
makna lain bahwa terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki, dan
bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia
baru.
h.
Bahan perlengkapan dalam gunungan
kakung seperti tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, mentimun, kacang panjang dan
daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang dinikmati manusia. Dan
juga dami (batang padi), jodhang, sujen, peniti, jarum bundel,
dan samir jene. Bahan-bahan
hasil bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi.
i.
Gunungan putri, Gunungan putri
melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus memiliki
badan dan pikiran yang dingin, sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan
isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya maupun
keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau keluarganya. Adapun isi
dari gunungan putri merupakan makna dan lambang dari kewajiban wanita untuk
menjaga dan mengerjakan urusan belakang atau kebutuhan rumah tangga. Gunungan
putri berjalan di belakang gunungan kakung dan gunungan anakan,
yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan
bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah tangga.
j.
Eter, terbuat dari seng berbentuk
jantung manusia atau bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api
yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus. Eter juga
berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada
pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia.
k.
Bunga sebagai pengharum, mempunyai
dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan
atau mendatangkan berkah bagi yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok.
Sedangkan makna batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang
diperoleh dengan amal yang baik.
l.
Jajanan, yang terdiri dari jadah,
wajik, dan jenang sebagai isi dari jodhang yang menggambarkan
hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga.
m.
Uang logam, bermakna sebagai sarana
memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan bermakna
batiniah sebagai simbol cobaan atau ujian hidup manusia yang dapat menggunakan
dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan.
n.
Gunungan anakan, bermakna bahwa anak
dari sebuah rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak
dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat mikul dhuwur mendhem jero,
artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik
orang tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak sholeh yang
berbakti dan mau mendoakan orang tuanya.
o.
Ancak cantaka, merupakan sedekah
para abdi dalem dan kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka
ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi
kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya
kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan.
p.
Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging ayam (ingkung),
kedelai, dan pisang raja. Maknanya sebagai lambang kehidupan yang enak atau
baik, sedang yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali.
q.
Sega janganan atau nasi sayuran, melambangkan
kehidupan tercukupi (duniawi), sedang yang dituju adalah para roh.
r.
Sega asahan, bermakna untuk
menyucikan lahir dan batin.
s.
Buah-buahan atau jajan pasar, bermakna
sebagai penolak balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang
akan terjadi.
t.
Sirih, menurut kepercayaan
masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten
berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan
sirih pada perayaan sekaten.
u.
Canthangbalung, Canthangbalung
adalah abdi dalem yang bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut
Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada
jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama “crek, crek, crek”. Canthangbalung
dengan gayanya yang lucu dimaksudkan untuk orang yang mengikuti konsep dualis
yang berlaku menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban
perintah.
v. Pecut, adalah salah satu barang yang
dijual dalam sekaten. Oleh masyarakat, pecut yang dibeli saat sekaten dipercaya
dapat menghindarkan ternak dari penyakit dan berkembang biak bagi para peternak
sapi/kambing.
Benda-benda
perlengkapan sekaten tersebut dianggap sebagai perantara untuk mendapatkan
berkah kepada masyarakat. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan kehidupan
ekonomi yang lebih baik serta menuju kemakmuran.
BAB
III
PENUTUP
DAN KESIMPULAN
Latar
belakang sejarah pelaksanaan Tradisi Sekaten terkait erat dengan tradisi sejak
zaman Kasultanan Demak untuk menyiarkan agama Islam. Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat dan keraton surakarta kemudian melaksanakan tradisi leluhurnya sebagai tradisi upacara kebudayaan
dan keislaman yang bercorak khas kejawen tersebut. Tradisi Sekaten merupakan
upacara keagamaan yang diadakan setiap tahun bertepatan dengan hari lahirnya
Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya Garebeg yang diselenggarakan untuk
memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut Garebeg Maulud. Namun di Yogyakarta
dan Surakarta, perayaan Garebeg Maulud lebih dikenal dengan nama Sekatenan.
Bagi masyarakat Yogyakarta, tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat mempunyai makna religius, historis dan kultural. Peringatan tradisi
Sekaten sebagai upacara keagamaan yang bertepatan dengan hari lahirnya Nabi
Muhammad SAW bertujuan untuk menghormati kehadirannya di dunia ini dan untuk
memetik suri teladan kehidupan Rasulullah SAW.
Dalam
upacara sekatenan masyarakat memperebutkan gunungan yang dipercaya sebagai
berkah bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain dengan benda-benda
yang berasal dari gunungan sekaten tersebut, masyarakat mengharapkan kehidupan
ekonomi dan mereka bisa diperbaiki sehingga bisa menuju kehidupan yang lebih
makmur.
DAFTAR
PUSTAKA
Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta.
Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1984.
Kebudayaan Jawa. jakarta : Balai
Pustaka.
GPH. Poeger. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono
Pustoko Karaton Surakarta
KRT. Haji Handipaningrat.
Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.
Wignyasubrata.
Sekaten di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat. Yogyakarta : Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat.