Kamis, 04 Oktober 2012

SEKATENAN


KEPERCAYAAN EKONOMI DALAM
SEKATENAN DI YOGYAKARTA DAN SURAKARTA
                                                                                
BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia memiliki pemeluk dari berbagai suku bangsa yang hidup di berbagai pulau. Sebelum agama islam masuk ke Indonesia, berbagai suku  telah memiliki kebudayaan dan adat istiadat masing-masing dimana budaya tersebut sudah lebih dulu mengakar di lingkungan masyarakat. Di tanah jawa khususnya budaya animisme dan dinamisme sudah menjadi kepercayaan yang lebih dulu membudaya dibandingkan agama islam itu sendiri. Oleh karena itu agama islam tidak akan mudah menyebar ditanah jawa apabila budaya dan adat istiadat yang lebih dulu ada dihilangkan begitu saja.
Karena faktor itulah para penyebar islam masa lalu di tanah jawa menggunakan pendekatan kebudayaan untuk menyebarkan agama islam di tanah jawa. Melalui ritual kebudayaan serta kesenian, para penyebar islam mengumpulkan massa untuk menyebarkan agama islam. Para Wali sebagai penyebar islam juga tidak menghilangkan upacara ritual kebudayaan seperti selamatan dan sebagainya. Salah satu upacara ritual yang masih ada hingga sekarang adalah upacara sekaten yang merupakan perwujudan dari selamatan tahunan yang diadakan oleh raja-raja hindu budha masa lalu.
Saat ini perayaan Sekaten dijadikan suatu upacara tradisional keagamaan Islam dan dianggap sebagai tradisi untuk memperingati sosialisasi masuknya Islam ke Indonesia. Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis (Soelarto, 1996: 24). Sebagai suatu peristiwa keagamaan dan kebudayaan, Sekaten (Garebeg) merupakan  upacara Kerajaan yang diselenggarakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Soelarto, 1996 : 41).
Setiap tahun selalu diselenggarakan upacara sekaten di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Garebeg Maulud) atau Kasunanan Surakarta. Perayaan sekaten bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dalam rangka memenuhi kebutuhan religius masyarakat (Soelarto, 1996 : 24). Di samping digunakan sebagai peristiwa sosial dan ekonomi, upacara tradisional sekaten juga digunakan sebagai alat komunikasi antar sesama manusia dan dengan dunia yang ghaib. Pemahaman sebagai alat komunikasi antara dunia nyata dengan dunia ghaib akan lebih terlihat nyata melalui pemahaman simbol-simbol dan sesaji serta benda-benda ubarampe yang sering digunakan dalam upacara. Pesan-pesan ajaran agama, nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat  disampaikan kepada seluruh warga masyarakat. Sehingga upacara Tradisi Sekaten itu merupakan sarana sosialisasi kebudayaan dan spiritual, terutama kepada generasi muda masyarakat yang masih harus mempersiapkan diri untuk menyesuaikan dalam kehidupan masyarakat.   

BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1.      Pengertian dan Sejarah Sekaten
Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pelacuran dan penyelewengan ), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan) (K.R.T. Haji Handipaningrat : 3).
Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak menyebabkan kematian  warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam  dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama  kemudian, wabah penyakit tersebut menghilang dan rakyat hidup tenteram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selalu diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun.
Nama Sekaten itu sendiri diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi hasil dari interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan. Proses interaksi tersebut dapat membantu mempercepat  penyebaran agama islam di Pulau Jawa. Di Yogyakarta sendiri sekaten yang menjadi salah satu bentuk adat Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah Sekaten di Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri (Soelarto, 1996 : 17).
Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang melibatkan seluruh pegawai Keraton, seluruh aparat Kerajaan, dan seluruh lapisan masyarakat. Sekaten yang bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal itu juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemusliman. Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti  Sri Sultan Hamengkubuwono I (Soelarto, 1996 : 19). Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan perwujudan dari masuknya dan tersosialisasinya Islam ke Indonesia secara damai, karena Islam itu sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di pulau Jawa.  Dalam perkembangannya tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik keraton atau kasunanan, tetapi masyarakat juga merasa ikut. Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah, juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan  Senopati (Soelarto, 1996: 24). Dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud  selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat. 
Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis. Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang tercantum dalam rangkaian gelarnya.  Makna historis, berkaitan dengan keabsahan  Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris yang sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram Islam.  Makna Kultural, berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan  lama (Soelarto, 1996 : 24).  Keterangan diatas merupakan sejarah dari perayaan Sekaten yang secara terus-menerus menunjukkan toleransi dalam sikap religius dan sikap kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari ratusan suku bangsa se-nusantara  yang membentuk kepribadian bangsa Indonesia pada masa kini (Soelarto, 1996 : 24).




2.      Prosesi Sekaten
Serangkaian upacara Sekatenan di yogyakarta terdiri dari :
a.    Perayaan Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya Slametan atau Wilujengan yang bertujuan untuk mencari ketentraman dan ketenangan. Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada  perayaan Sekaten ini masyarakat banyak yang berkunjung dan bertujuan untuk mencari hiburan atau membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam itu.
b.   Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten, gamelan dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang bertugas dalam bidang kesenian dan Abdi  Dalem Konco Gladhag yang membawa gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara dan Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat adzan dikumandangkan dan pada hari jum’at. Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo. Gamelan dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam karena dengan membunyikan gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya, maka masyarakat akan datang.
c.    Rangkaian upacara Sekaten yang selanjutnya ialah Upacara Numplak Wajik yang berlokasi di Magangan Kidul. Upacara Numplak Wajik sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik diawali dengan iringan  Gejog Lesung  yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco Gladhag. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon tersebut dapat berjalan lancar. Sebelum upacara ini dimulai biasanya diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan.
d.   Acara selanjutnya dilaksanakan Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati, Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogyakarta. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan pembesar Keraton dibacakan Siratun Nabi  (riwayat hidup Nabi Muhammad SAW). Sebelum Miyos Dalem dilaksanakan, Sri Sultan menyebar udhik-udhik yang telah disiapkan oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti di depan pintu Pagongan Selatan dan Pagongan Utara Masjid Agung Yogya dimana selama 7 hari berturut-turut kedua Gamelan sekaten dibunyikan yaitu Gamelan Kanjeng Kiai Guntur Madu dan Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga dihadapan masyarakat yang hadir. Miyos Dalem berakhir ditandai dengan pelaksanaan Kondur Gongso atau gamelan dibawa masuk lagi ke Keraton.
e.    Sebagai rangkaian upacara  terakhir dari Tradisi Sekatenan yaitu puncak acara  Garebeg Maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya Hajad Dalem Pareden (gunungan) tepat tanggal 12 bulan. Dalam Garebeg Maulud ini Sri Sultan mengeluarkan Hajad Dalem berupa 6 buah gunungan, diantaranya adalah 2 buah  gunungan lanang (1 buah gunungan untuk berkat ke Pakualaman), 1 buah gunungan wadon, 1 buah gunungan dharat, 1 buah gunungan gepak, dan 1 buah gunungan pawuhan. Gunungan itu nantinya akan diperebutkan oleh masyarakat. Ketika gunungan diperebutkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan bagian dari gunungan  itu, seperti hiasan telur ataupun hiasan kue-kue. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka akan mendapatkan berkah. Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil. Selain bagian dari gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega. Masyarakat percaya bahwa dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga Keraton, mereka akan mendapatkan berkah dari benda yang dimilikinya.
3.      Makna Benda-benda sebagai perlengkapan sekaten
Dalam upacara Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan lain sebagainya yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten tersebut sebagai berikut:
a.       Gunungan kakung, Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan keraton. Dari hal tersebut raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten. Gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya..
b.      Bendera merah putih, ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih berarti suci. Warna merah putih menunjukkan istilah pada kerajaan Majapahit yaitu istilah gula klapa yang melambangkan bahwa orang harus mempunyai sifat dan semangat keberanian serta kesucian.
c.       Cakra, merupakan puncak dari pangkal berdirinya gunungan yang mempunyai makna senjata atau pusaka milik dari Prabu Kresna yang mempunyai kekuatan dahsyat dalam menegakkan keadilan. Selain itu cakra merupakan simbol dari hati yang merupakan petunjuk dan pemimpin dalam kehidupan. Perjalanan cakra adalah berputar yang bermakna bahwa roda kehidupan manusia itu selalu berputar, manusia harus selalu ingat kepada Tuhan dalam keadaan senang maupun susah.
d.      Wapen, merupakan simbol yang digunakan sebagai lambang. Adapun wapen dalam gunungan bermakna petunjuk bagi keselamatan dan kekuasaan dari Raja yang bertahta.
e.       Kampuh, merupakan kain berwarna merah putih yang menutupi jodhang (tempat makanan) yang bermakna kesusilaan. kampuh dibuat sebagus mungkin yang membuktikan kepribadian, pepatah Jawa mengatakan ajining salira saka busana yang berarti dihormatinya seseorang karena pakaiannya.
f.       Entho-entho, merupakan makanan berbentuk bulat telur yang terbuat dari tepung beras ketan yang dikeringkan hingga keras, kemudian digoreng. Hal ini bermakna keteguhan hati dalam menghadapi masalah kehidupan dunia.
g.      Telur asin, melambangkan amal. Adapun makna lain bahwa terbagi dua bagian, bagian kuning melambangkan laki-laki, dan bagian putih adalah perempuan. Kemudian keduanya bersatu dan terjadi manusia baru.
h.      Bahan perlengkapan dalam gunungan kakung seperti tebu, cabe, daun pisang, terong, wortel, mentimun, kacang panjang dan daging yang kesemuanya merupakan hasil dari bumi yang dinikmati manusia. Dan juga dami (batang padi), jodhang, sujen, peniti, jarum bundel, dan samir jene. Bahan-bahan hasil bumi tersebut merupakan lambang dari kesuburan bumi.
i.        Gunungan putri, Gunungan putri melambangkan putri sejati yang menggambarkan bahwa seorang wanita harus memiliki badan dan pikiran yang dingin, sehingga dia mempunyai penangkal untuk menahan isu-isu yang datang dari luar, baik yang menjelek-jelekkan dirinya maupun keluarganya dan dapat menyimpan rahasia manusia atau keluarganya. Adapun isi dari gunungan putri merupakan makna dan lambang dari kewajiban wanita untuk menjaga dan mengerjakan urusan belakang atau kebutuhan rumah tangga. Gunungan putri berjalan di belakang gunungan kakung dan gunungan anakan, yang merupakan simbol bahwa istri bertugas sebagai pengasuh utama dari anak dan bertanggungjawab menjaga keselamatan rumah tangga.
j.        Eter, terbuat dari seng berbentuk jantung manusia atau bunga pisang (tuntut) yang bermakna sebagai api yang menyala, yaitu semangat hidup yang menyala terus. Eter juga berwujud jantung yang merupakan pusat kebatinan atau rohani, hal ini ada pertimbangan kewajiban lahir batin atau dengan Allah dan sesama manusia.
k.      Bunga sebagai pengharum, mempunyai dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu makna lahiriah dapat mendekatkan atau mendatangkan berkah bagi yang cocok dan menjauhkan bagi yang tidak cocok. Sedangkan makna batiniah yaitu kemuliaan atau keharuman jati diri manusia yang diperoleh dengan amal yang baik.
l.        Jajanan, yang terdiri dari jadah, wajik, dan jenang sebagai isi dari jodhang yang menggambarkan hasil karya wanita dalam dapur atau rumah tangga.
m.    Uang logam, bermakna sebagai sarana memperoleh kebutuhan lahiriah manusia dalam hidup di dunia, dan bermakna batiniah sebagai simbol cobaan atau ujian hidup manusia yang dapat menggunakan dan mendatangkan keresahan bagi yang tidak dapat menggunakan.
n.      Gunungan anakan, bermakna bahwa anak dari sebuah rumah tangga yang sudah tentu diharapkan oleh orang tuanya, anak dapat menyambung sejarah keluarga atau dapat mikul dhuwur mendhem jero, artinya menjunjung harkat dan martabat orang tua dengan cara menjaga nama baik orang tua atau dalam agama Islam dikenal dengan istilah anak sholeh yang berbakti dan mau mendoakan orang tuanya.
o.      Ancak cantaka, merupakan sedekah para abdi dalem dan kerabat keraton yang dikeluarkan oleh raja karena mereka ada di dalam lindungan-Nya. Melambangkan kehidupan yang makmur tercukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Terbinanya kehidupan beragama dan tersedianya kebutuhan di dunia yaitu sandang, pangan, dan papan.
p.      Sega uduk atau nasi gurih dengan perlengkapan daging ayam (ingkung), kedelai, dan pisang raja. Maknanya sebagai lambang kehidupan yang enak atau baik, sedang yang dituju adalah untuk para Nabi dan wali.
q.      Sega janganan atau nasi sayuran, melambangkan kehidupan tercukupi (duniawi), sedang yang dituju adalah para roh.
r.        Sega asahan, bermakna untuk menyucikan lahir dan batin.
s.       Buah-buahan atau jajan pasar, bermakna sebagai penolak balak atau menyingkirkan segala sumber bahaya atau bencana yang akan terjadi.
t.        Sirih, menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda. Maka banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten.
u.      Canthangbalung, Canthangbalung adalah abdi dalem yang bertugas membuat orang lain menjadi gembira. Disebut Canthangbalung karena mereka membawa kepyak dari tulang yang diselipkan pada jari-jari dan selalu dibunyikan dengan irama “crek, crek, crek”. Canthangbalung dengan gayanya yang lucu dimaksudkan untuk orang yang mengikuti konsep dualis yang berlaku menguji kesungguhan dan keteguhan iman pepatih dalem dalam mengemban perintah.
v.      Pecut, adalah salah satu barang yang dijual dalam sekaten. Oleh masyarakat, pecut yang dibeli saat sekaten dipercaya dapat menghindarkan ternak dari penyakit dan berkembang biak bagi para peternak sapi/kambing.
Benda-benda perlengkapan sekaten tersebut dianggap sebagai perantara untuk mendapatkan berkah kepada masyarakat. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik serta menuju kemakmuran.


BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN

Latar belakang sejarah pelaksanaan Tradisi Sekaten terkait erat dengan tradisi sejak zaman Kasultanan Demak untuk menyiarkan agama Islam. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan keraton surakarta kemudian melaksanakan tradisi  leluhurnya sebagai tradisi upacara kebudayaan dan keislaman yang bercorak khas kejawen tersebut. Tradisi Sekaten merupakan upacara keagamaan yang diadakan setiap tahun bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW. Itulah sebabnya Garebeg yang diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut Garebeg Maulud. Namun di Yogyakarta dan Surakarta, perayaan Garebeg Maulud lebih dikenal dengan nama Sekatenan. Bagi masyarakat Yogyakarta, tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempunyai makna religius, historis dan kultural. Peringatan tradisi Sekaten sebagai upacara keagamaan yang bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk menghormati kehadirannya di dunia ini dan untuk memetik suri teladan kehidupan Rasulullah SAW.
Dalam upacara sekatenan masyarakat memperebutkan gunungan yang dipercaya sebagai berkah bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain dengan benda-benda yang berasal dari gunungan sekaten tersebut, masyarakat mengharapkan kehidupan ekonomi dan mereka bisa diperbaiki sehingga bisa menuju kehidupan yang lebih makmur.


DAFTAR PUSTAKA

Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. jakarta : Balai Pustaka.
GPH. Poeger. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta
KRT. Haji Handipaningrat. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.
Wignyasubrata. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.  Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.